Sabtu, 10 Januari 2009

Proses Pendidikan di Dunia Islam Menyambut Gejolak Sains & Teknologi

Kemajuan sains dan teknologi yang sangat pesat mempunyai dampak yang serius dalam berbagai segi kehidupan. Dampak itu menuntut kita agar menentukan sikap yang tepat dan sesuai dengan nilai 'insaniyatul -insan' dengan menciptakan three balance; ruh, akal (rasio) dan jasad. Ketiga unsur tersebut merupakan integritas utuh (setali seikat) yang menolak tindakan dikotomi. Jika benar dikotomi itu terjadi, maka akan hadir karakteristik keilmuan yang justru semakin dipertanyakan timbangan komitmennya ; komitmen ilmiah, komitmen moral dan komitmen spiritual. Dan akhirnya kita semakin yakin dan optimis bahwa profil yang demikian akan kewalahan mengantarkan ummat ketingkat mature of civilization yang bisa dipersaksikan (syuhada 'ala naas) proyek kerjanya. Tidak ada yang mengingkari bahwa gejolak sains juga ikut meramaikan khazanah peradaban manusia, baik dalam format teori atau karya kemanusiaan. Namun karena ia adalah amal manusia maka tidak lepas dari evaluasi. Dalam sebuah kesempatan Dr. Munawar Ahmad Anees, seorang pakar biologi yang telah banyak menulis tentang masalah-masalah etika dan moral dalam bidang sains dan teknologi, mencoba mengevaluasi fenomena ini mengatakan "... kemudian diterjemahkan dalam tindakan sosial, maka masyarakat apakah yang akan terbentuk?"

Benar apa yang diungkapkan beliau bahwa potret-potret peradaban pada zaman interplaniter ini belum bisa mewakili idealisme kemanusiaan yang kita harapkan. Negara sosialis dan kapitalis yang notabene beraliansi material dan menerapkan praktek sekularisme, mulai berguguran menunggu lahirnya pelaku baru. Kondisi mereka telah disinyalir oleh QS. Al Nahl:26 "Maka Allah Swt hancurkan sendi-sendi dan fondasi bangunan mereka dan runtuhlah atap bangunannya serta hancurlah apa yang mereka bangun, kemudian datanglah adzab kepada mereka tanpa mereka rasakan."

Sebagai reformasi orientasi pendidikan sains, khusus untuk dunia Islam, maka Ismail Roji al Faruqi beserta kawan-kawannya di IIIT mencoba mencipta kilas balik dalam bentuk Proyek Islamisasi Pengetahuan yang dimulai dari pembenahaan dan penataan kembali pola berfikir ummat Islam. Reorientasi pendidikan sains dirasa sangat perlu mengingat sains merupakan salah satu perangkat terpenting untuk maju dan bangkit.

Tentang Visi Pendidikan Islam

Pendidikan ibarat sebuah rahim yang didalamnya terdapat gen-gen dengan komposisi yang rapi dan dengan segala benih-benih kapabilitas yang ada. Ia juga merupakan sebuah iklim yang memenuhi syarat untuk memelihara dan menumbuh-kembangkan segala potensi dan kapabilitas yang diperlukan oleh masyarakat yang terpendam pada setiap individu. Maka dari itu perlu adanya usaha penggalian potensi, pengarahan (orientasi) dan perencanaan yang baik. Dikarenakan masih terlalu banyak pos-pos yang kosong yang sangat membutuhkan sebuah profesionalisme (spesialisasi kerja). Dan agaknya memang disini kelemahan kita, kurang berani mengeksploitasi sumber daya, kemudian mengarahkannya kebidang dunia spesialisasi. Kemudian perlu diyakini bahwa proses pendidikan adalah kerja kombinasi, tidak bisa berdiri sendiri. Tidak mungkin ada orang yang berbicara tentang pendidikan tanpa memiliki kecakapan yang cukup dalam bidang agama, sirah (sejarah hidup Nabi Saw) dan sejarah Islam. Karena pada hakekatnya ia merupakan sebuah konfigurasi dari berbagai spesialisasi dan dari rahimnya akan terlahir produk pendidikan. Tanpa adanya faktor-faktor ini tidak mungkin akan terjadi sebuah kelahiran, karena 'rahim' pendidikan saat itu sudah masuk fase 'monophause'.(1) Kita juga terhenyak ketika Amerika, sebagai policy tunggal dunia dan mendahului Uni Soviet berlayar ke angkasa luar, menemukan sebuah tantangan besar yaitu rusaknya UU pendidikan dan pengajaran serta mengalami defisit sumber daya manusia (para inovator) yang kapabel. Maka dibentuklah sebuah komite yang spesifik menangani fenomena bahaya ini yang mereka sebut dengan "Ummat yang dilanda Krisis." Karena rusaknya UU yang mengatur pendidikan dan pengajaran. Bahkan Presiden George Bush (dahulu) dalam setiap kampanye selalu mengatakan bahwa ia akan menjadi tokoh pendidikan dan pengajaran. Bahkan Robert D Hormats, ahli dan penanggung jawab bidang ekonomi AS, ketika ditanya tentang problem ekonomi AS yang paling urgen mengatakan: "Bahwa UU pengajaran belum mendapat perhatian yang cukup," (koran Al Bayan 10/11/1990).

Lebih lagi Prof. Alan Slome, dosen pengajar di Chicago, membeberkan secara gamblang dalam salah satu bahasan dibukunya yang banyak tersebar dengan tema "Intelektualitas Bangsa Amerika yang Tumpul," yang pada tahun 1988 banyak meributkan kalangan civitas akademika AS tentang tertutupnya 'kebebasan' bagi kalangan pendidikan tingkat tinggi dan gagalnya sekolah serta perguruan tinggi dalam menanamkan pengetahuan dasar kepada peserta didik, beliau mengatakan:"Lembaga-lembaga pendidikan saat ini sedang ditimpa penyakit kelesuan berfikir, sehingga akibatnya hanya melahirkan generasi yang jauh dari karakter sense of civilization (rasa peradaban)."(2)

Jadi, pendidikan yang sebenarnya adalah yang mampu mengkoordinasikan segala keinginan, menggali segala potensi, mengenali kapabilitas dan kecenderungan yang ada, kemudian membekalinya dengan ketrampilan sehingga mampu berinteraksi dengan realita yang ada dan ikut bangkit mencapai idealisme dan sasaran-sasaran yang memungkinkan untuk di capai.(3) Ini merupakan tujuan pendidikan secara umum, adapun pendidikan Islam sendiri kiranya tidak jauh dari kenyataan pahit semacam itu. Semboyan bahwa risalah Islam itu abadi dan relevan di setiap waktu dan tempat kiranya perlu diterjemahkan secara intensif dalam kerja pendidikan dan pengajaran.

Tidak seringnya kita mengulang-ulang semboyan itupun juga tidak akan mengurangi bahwa Risalah Islam abadi dan selalu relevan. Kondisi pendidikan Islam saat ini yang kurang mampu mencetak profil yang ideal diantaranya karena kita selalu berdalih dengan keabadian Risalah (Khulud al Risalah) yang mengesankan tidak ada kilas balik dari ummat ini. Kemudian juga karena pikiran kita yang mengklaim bahwa sarana-sarana pendidikan itu harus 'Islami' masih sangat terbatas penafisrannya, dan perlu pengkayaan kembali maknanya dan pengembangannya hingga mampu menjad 'syuhud al had hari' dan sesuai dengan sifat khulud al risalah.(4) Karena memang benar adanya bahwa: "Al bayan minal sama wa al dalil mina al ardh," (penjelasan/juklak itu dari langit, adapun pembuktian dalam kerja dari bumi).

Kemudian visi pendidikan tentang ilmu pengetahuan juga perlu dievaluasi dan diperkokoh jika memang telah benar. Sebab ilmu sendiri merupakan sarana yang mengantarkan manusia untuk membangun sebuah peradaban yang lebih matang. Bangunan ideal yang diharapkan tegak itu tidak akan eksis kecuali jika subyek pembangunan itu sendiri menempatkan dirinya secara profesional sebagai mana yang diharapkan Islam dalam memandang sarana tersebut. Yang perlu ditekankan lagi dalam proses pendidikan Islam bahwa hubungan antara ilmu dan iman adalah hubungan yang dibina secara dinamis dan bukan dua kutub yang paradoksal. Visi yang keliru tentang hubungan antara ilmu dan iman memang pernah merebak luas di benua Eropa pada abad-abad pertengahan. Ketika itu lembaga spiritual gerejani mandul dalam memegang perannya, berbalik mendukung pemahaman khurafat dan memerangi ilmu pengetahuan. Selain itu juga menciptakan kondisi yang jumud (ortodox) dan taklid, memborgol kebebasan berpikir dan berkarya. Mereka bahu-membahu dengan para tuan tanah dan penguasa menciptakan jurang pemisah antara mereka dan masyarakat marginal. Semboyan yang mereka agung-agungkan adalah: "Iman dahulu baru ilmu (berpengetahuan)," atau "Berkeyakinan dengan apa adanya (dalam kondisi buta)," dan semboyan yang disambung lewat lidah pastur:"Pejamkanlah matamu kemudian ikutilah aku." (5)

Adagium-adagium seperti ini sangat tidak sejalan dengan semangat Islam yang mempunyai konsep ilmiah dalam segala aksi-aksi menolak keyakinan (aqidah) berdasarkan taklid buta, seperti yang telah disitir dalam QS Al Maidah:104. "Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati dari bapak-bapak kami mengerjakannya," dan QS Al Ahzab:67:"Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin dan pembesar kami," atau perkataan: " Sesungguhnya diriku ini tergantung pada manusia." (6) Dan masih banyak lagi bantahan-bantahan Al Qur'an tentang hal serupa sebagaimana ia menolak bahwa tidak cukup bagi seorang muslim hanya berakidah belaka tanpa 'Al Ilmu & al Yakin,'(lihat QS al Nisa:157). Al Qur'an menempatkan 'al Ilmu al Haq' sebagai penyeru dan petunjuk ke kawasan iman (lihat QS. Al Hajj:54). Ilmu yang benar akan diikuti proses selanjutnya dengan iman, kemudian ia akan diikuti gerak hati (wujdan) dengan tunduk dan khusyuk kepada Dzat Yang Maha Tinggi. Ilmu merupakan dalil amal, sebagaimana ia juga dalil iman. Imam Bukhari juga turut meletakkan konsep dasar keilmuan dalam bukunya "Al Jami al Shohih" beliau mengatakan,"Ilmu ibarat pintu, sebelum berucap dan beramal." (7) Dalam arti kecepatan kata dan tindakan seyogyanya tidak melebihi kualitas dan kuantitas keilmuan seseorang, sehingga tidak terbentuk profil split personality (kepribadian yang terpecah-pecah). Bahkan menurut Ibnu al Munir jika muatan kata dan tindakan lebih berat ketimbang muatan ilmu maka ia dianggap sebagai kepribadian yang tak bernilai. Dalam konsep Imam Bukhari dapat ditarik kesan bahwa kekuatan ilmu apapun tidak akan memberikan keuntungan yang berarti pada jajaran kemanusiaan jika tidak menyeberangi jembatan amal dan ini merupakan Islam mainstream, sekaligus sebagai warning bagi mereka yang mengabaikan urgensinya posisi ilmu dan menganggap remeh dalam proses pencariannya. (8)

Dan kondisi ummat akan lebih terpuruk jika kawasan rasionalitas atau intelektualitasnya di bawah kendali ideologi-ideologi yang bertolak belakang dengan proyek rekonstruksi 'Insaniyatul-insan. Apalagi daerah-daerah yang menyentuh lapisan aqidah. Sebab daerah tersebutlah yang menuntun manusia dalam memandang wujud, kehidupan, tindakan manusia, situasi dan kondisi sekitar, nilai/norma, etika, adat-istiadat dan dan semua substansi yang ada korelasinya dengan kejiwaan manusia dan pola hidupnya. (9)

Maka dengan demikian pendidikan masyarakat (makro) tidak akan berhasil jika tidak diperhatikan sarana efektif dan intensif pendidikan mikronya (keluarga dan individu). Dan proses kematangan sosial akan lebih terhambat jika muncul, berkembang dan dipelihara sikap otoritas pendidikan sosial oleh penguasa yang diktator. Dan benar apa yang diriwayatkan dari Rasulullah Saw; "Pemimpin kalian adalah cerminan dari kepribadian kalian." Jadi, penguasa dan pemimpin tidak lain hanyalah barang warisan sebuah masyarakat (komunitas): pola pikirnya, iklim pendidikannya dan pengetahuannya. Dengan demikian, berarti hubungan antara individu dan jama 'ah (masyarakat) dalam proses pendidikan dan pengajaran dimungkinkan sekali keduanya dalam satu waktu menjadi premis dan outcome. Sebab kenabian, misalnya, tidak lain hanyalah gerakan individu-individu yang merubah wajah masyarakat dan lingkungan. Akan tetapi yang menjadi catatan penting bahwa gerakan pembaha ruan tidak mungkin berhasil tanpa adanya pembinaan group (educational group). Maka semakin solid perkataan yang berbunyi "Manusia tergantung kepada ideologi penguasanya." Betapa banyak tindakan tirani seorang penguasa menular kepada rakyatnya, mematikan ruh rakyat disebabkan bercokolnya faham Fir'aunisme pada diri penguasa. (11)

Penguasa juga, dilain faktor, yang menentukan jarak imaginasi pada kepribadian rakyat antara dunia dan akhirat. Sebab siapa yang mengerahkan suatu negara beraliran sekuler, atheis, kapitalis, sosialis atau gado-gado, siapa lagi kalau bukan penguasa?

1 komentar:

ivad mengatakan...

kug gak di kasih readmore aj,, pasti lebih bonafit