Kemajuan sains dan teknologi yang sangat pesat mempunyai dampak yang serius  dalam berbagai segi kehidupan. Dampak itu menuntut kita agar menentukan sikap  yang tepat dan sesuai dengan nilai 'insaniyatul -insan' dengan menciptakan three  balance; ruh, akal (rasio) dan jasad. Ketiga unsur tersebut merupakan integritas  utuh (setali seikat) yang menolak tindakan dikotomi. Jika benar dikotomi itu  terjadi, maka akan hadir karakteristik keilmuan yang justru semakin  dipertanyakan timbangan komitmennya ; komitmen ilmiah, komitmen moral dan  komitmen spiritual. Dan akhirnya kita semakin yakin dan optimis bahwa profil  yang demikian akan kewalahan mengantarkan ummat ketingkat mature of civilization  yang bisa dipersaksikan (syuhada 'ala naas) proyek kerjanya. Tidak ada yang  mengingkari bahwa gejolak sains juga ikut meramaikan khazanah peradaban manusia,  baik dalam format teori atau karya kemanusiaan. Namun karena ia adalah amal  manusia maka tidak lepas dari evaluasi. Dalam sebuah kesempatan Dr. Munawar  Ahmad Anees, seorang pakar biologi yang telah banyak menulis tentang  masalah-masalah etika dan moral dalam bidang sains dan teknologi, mencoba  mengevaluasi fenomena ini mengatakan "... kemudian diterjemahkan dalam tindakan  sosial, maka masyarakat apakah yang akan terbentuk?"
 Benar apa yang diungkapkan beliau bahwa potret-potret peradaban pada zaman  interplaniter ini belum bisa mewakili idealisme kemanusiaan yang kita harapkan.  Negara sosialis dan kapitalis yang notabene beraliansi material dan menerapkan  praktek sekularisme, mulai berguguran menunggu lahirnya pelaku baru. Kondisi  mereka telah disinyalir oleh QS. Al Nahl:26 "Maka Allah Swt hancurkan  sendi-sendi dan fondasi bangunan mereka dan runtuhlah atap bangunannya serta  hancurlah apa yang mereka bangun, kemudian datanglah adzab kepada mereka tanpa  mereka rasakan."
 Sebagai reformasi orientasi pendidikan sains, khusus untuk dunia Islam, maka  Ismail Roji al Faruqi beserta kawan-kawannya di IIIT mencoba mencipta kilas  balik dalam bentuk Proyek Islamisasi Pengetahuan yang dimulai dari pembenahaan  dan penataan kembali pola berfikir ummat Islam. Reorientasi pendidikan sains  dirasa sangat perlu mengingat sains merupakan salah satu perangkat terpenting  untuk maju dan bangkit.
 Tentang Visi Pendidikan Islam
 Pendidikan ibarat sebuah rahim yang didalamnya terdapat gen-gen dengan  komposisi yang rapi dan dengan segala benih-benih kapabilitas yang ada. Ia juga  merupakan sebuah iklim yang memenuhi syarat untuk memelihara dan  menumbuh-kembangkan segala potensi dan kapabilitas yang diperlukan oleh  masyarakat yang terpendam pada setiap individu. Maka dari itu perlu adanya usaha  penggalian potensi, pengarahan (orientasi) dan perencanaan yang baik.  Dikarenakan masih terlalu banyak pos-pos yang kosong yang sangat membutuhkan  sebuah profesionalisme (spesialisasi kerja). Dan agaknya memang disini kelemahan  kita, kurang berani mengeksploitasi sumber daya, kemudian mengarahkannya  kebidang dunia spesialisasi. Kemudian perlu diyakini bahwa proses pendidikan  adalah kerja kombinasi, tidak bisa berdiri sendiri. Tidak mungkin ada orang yang  berbicara tentang pendidikan tanpa memiliki kecakapan yang cukup dalam bidang  agama, sirah (sejarah hidup Nabi Saw) dan sejarah Islam. Karena pada hakekatnya  ia merupakan sebuah konfigurasi dari berbagai spesialisasi dan dari rahimnya  akan terlahir produk pendidikan. Tanpa adanya faktor-faktor ini tidak mungkin  akan terjadi sebuah kelahiran, karena 'rahim' pendidikan saat itu sudah masuk  fase 'monophause'.(1) Kita juga terhenyak ketika Amerika, sebagai policy tunggal  dunia dan mendahului Uni Soviet berlayar ke angkasa luar, menemukan sebuah  tantangan besar yaitu rusaknya UU pendidikan dan pengajaran serta mengalami  defisit sumber daya manusia (para inovator) yang kapabel. Maka dibentuklah  sebuah komite yang spesifik menangani fenomena bahaya ini yang mereka sebut  dengan "Ummat yang dilanda Krisis." Karena rusaknya UU yang mengatur pendidikan  dan pengajaran. Bahkan Presiden George Bush (dahulu) dalam setiap kampanye  selalu mengatakan bahwa ia akan menjadi tokoh pendidikan dan pengajaran. Bahkan  Robert D Hormats, ahli dan penanggung jawab bidang ekonomi AS, ketika ditanya  tentang problem ekonomi AS yang paling urgen mengatakan: "Bahwa UU pengajaran  belum mendapat perhatian yang cukup," (koran Al Bayan 10/11/1990).
 Lebih lagi Prof. Alan Slome, dosen pengajar di Chicago, membeberkan secara  gamblang dalam salah satu bahasan dibukunya yang banyak tersebar dengan tema  "Intelektualitas Bangsa Amerika yang Tumpul," yang pada tahun 1988 banyak  meributkan kalangan civitas akademika AS tentang tertutupnya 'kebebasan' bagi  kalangan pendidikan tingkat tinggi dan gagalnya sekolah serta perguruan tinggi  dalam menanamkan pengetahuan dasar kepada peserta didik, beliau  mengatakan:"Lembaga-lembaga pendidikan saat ini sedang ditimpa penyakit kelesuan  berfikir, sehingga akibatnya hanya melahirkan generasi yang jauh dari karakter  sense of civilization (rasa peradaban)."(2)
 Jadi, pendidikan yang sebenarnya adalah yang mampu mengkoordinasikan segala  keinginan, menggali segala potensi, mengenali kapabilitas dan kecenderungan yang  ada, kemudian membekalinya dengan ketrampilan sehingga mampu berinteraksi dengan  realita yang ada dan ikut bangkit mencapai idealisme dan sasaran-sasaran yang  memungkinkan untuk di capai.(3) Ini merupakan tujuan pendidikan secara umum,  adapun pendidikan Islam sendiri kiranya tidak jauh dari kenyataan pahit semacam  itu. Semboyan bahwa risalah Islam itu abadi dan relevan di setiap waktu dan  tempat kiranya perlu diterjemahkan secara intensif dalam kerja pendidikan dan  pengajaran.
 Tidak seringnya kita mengulang-ulang semboyan itupun juga tidak akan  mengurangi bahwa Risalah Islam abadi dan selalu relevan. Kondisi pendidikan  Islam saat ini yang kurang mampu mencetak profil yang ideal diantaranya karena  kita selalu berdalih dengan keabadian Risalah (Khulud al Risalah) yang  mengesankan tidak ada kilas balik dari ummat ini. Kemudian juga karena pikiran  kita yang mengklaim bahwa sarana-sarana pendidikan itu harus 'Islami' masih  sangat terbatas penafisrannya, dan perlu pengkayaan kembali maknanya dan  pengembangannya hingga mampu menjad 'syuhud al had hari' dan sesuai dengan sifat  khulud al risalah.(4) Karena memang benar adanya bahwa: "Al bayan minal sama wa  al dalil mina al ardh," (penjelasan/juklak itu dari langit, adapun pembuktian  dalam kerja dari bumi).
 Kemudian visi pendidikan tentang ilmu pengetahuan juga perlu dievaluasi dan  diperkokoh jika memang telah benar. Sebab ilmu sendiri merupakan sarana yang  mengantarkan manusia untuk membangun sebuah peradaban yang lebih matang.  Bangunan ideal yang diharapkan tegak itu tidak akan eksis kecuali jika subyek  pembangunan itu sendiri menempatkan dirinya secara profesional sebagai mana yang  diharapkan Islam dalam memandang sarana tersebut. Yang perlu ditekankan lagi  dalam proses pendidikan Islam bahwa hubungan antara ilmu dan iman adalah  hubungan yang dibina secara dinamis dan bukan dua kutub yang paradoksal. Visi  yang keliru tentang hubungan antara ilmu dan iman memang pernah merebak luas di  benua Eropa pada abad-abad pertengahan. Ketika itu lembaga spiritual gerejani  mandul dalam memegang perannya, berbalik mendukung pemahaman khurafat dan  memerangi ilmu pengetahuan. Selain itu juga menciptakan kondisi yang jumud  (ortodox) dan taklid, memborgol kebebasan berpikir dan berkarya. Mereka  bahu-membahu dengan para tuan tanah dan penguasa menciptakan jurang pemisah  antara mereka dan masyarakat marginal. Semboyan yang mereka agung-agungkan  adalah: "Iman dahulu baru ilmu (berpengetahuan)," atau "Berkeyakinan dengan apa  adanya (dalam kondisi buta)," dan semboyan yang disambung lewat lidah  pastur:"Pejamkanlah matamu kemudian ikutilah aku." (5)
 Adagium-adagium seperti ini sangat tidak sejalan dengan semangat Islam yang  mempunyai konsep ilmiah dalam segala aksi-aksi menolak keyakinan (aqidah)  berdasarkan taklid buta, seperti yang telah disitir dalam QS Al Maidah:104.  "Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati dari bapak-bapak kami mengerjakannya,"  dan QS Al Ahzab:67:"Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin dan  pembesar kami," atau perkataan: " Sesungguhnya diriku ini tergantung pada  manusia." (6) Dan masih banyak lagi bantahan-bantahan Al Qur'an tentang hal  serupa sebagaimana ia menolak bahwa tidak cukup bagi seorang muslim hanya  berakidah belaka tanpa 'Al Ilmu & al Yakin,'(lihat QS al Nisa:157). Al  Qur'an menempatkan 'al Ilmu al Haq' sebagai penyeru dan petunjuk ke kawasan iman  (lihat QS. Al Hajj:54). Ilmu yang benar akan diikuti proses selanjutnya dengan  iman, kemudian ia akan diikuti gerak hati (wujdan) dengan tunduk dan khusyuk  kepada Dzat Yang Maha Tinggi. Ilmu merupakan dalil amal, sebagaimana ia juga  dalil iman. Imam Bukhari juga turut meletakkan konsep dasar keilmuan dalam  bukunya "Al Jami al Shohih" beliau mengatakan,"Ilmu ibarat pintu, sebelum  berucap dan beramal." (7) Dalam arti kecepatan kata dan tindakan seyogyanya  tidak melebihi kualitas dan kuantitas keilmuan seseorang, sehingga tidak  terbentuk profil split personality (kepribadian yang terpecah-pecah). Bahkan  menurut Ibnu al Munir jika muatan kata dan tindakan lebih berat ketimbang muatan  ilmu maka ia dianggap sebagai kepribadian yang tak bernilai. Dalam konsep Imam  Bukhari dapat ditarik kesan bahwa kekuatan ilmu apapun tidak akan memberikan  keuntungan yang berarti pada jajaran kemanusiaan jika tidak menyeberangi  jembatan amal dan ini merupakan Islam mainstream, sekaligus sebagai warning bagi  mereka yang mengabaikan urgensinya posisi ilmu dan menganggap remeh dalam proses  pencariannya. (8)
 Dan kondisi ummat akan lebih terpuruk jika kawasan rasionalitas atau  intelektualitasnya di bawah kendali ideologi-ideologi yang bertolak belakang  dengan proyek rekonstruksi 'Insaniyatul-insan. Apalagi daerah-daerah yang  menyentuh lapisan aqidah. Sebab daerah tersebutlah yang menuntun manusia dalam  memandang wujud, kehidupan, tindakan manusia, situasi dan kondisi sekitar,  nilai/norma, etika, adat-istiadat dan dan semua substansi yang ada korelasinya  dengan kejiwaan manusia dan pola hidupnya. (9)
 Maka dengan demikian pendidikan masyarakat (makro) tidak akan berhasil jika  tidak diperhatikan sarana efektif dan intensif pendidikan mikronya (keluarga dan  individu). Dan proses kematangan sosial akan lebih terhambat jika muncul,  berkembang dan dipelihara sikap otoritas pendidikan sosial oleh penguasa yang  diktator. Dan benar apa yang diriwayatkan dari Rasulullah Saw; "Pemimpin kalian  adalah cerminan dari kepribadian kalian." Jadi, penguasa dan pemimpin tidak lain  hanyalah barang warisan sebuah masyarakat (komunitas): pola pikirnya, iklim  pendidikannya dan pengetahuannya. Dengan demikian, berarti hubungan antara  individu dan jama 'ah (masyarakat) dalam proses pendidikan dan pengajaran  dimungkinkan sekali keduanya dalam satu waktu menjadi premis dan outcome. Sebab  kenabian, misalnya, tidak lain hanyalah gerakan individu-individu yang merubah  wajah masyarakat dan lingkungan. Akan tetapi yang menjadi catatan penting bahwa  gerakan pembaha ruan tidak mungkin berhasil tanpa adanya pembinaan group  (educational group). Maka semakin solid perkataan yang berbunyi "Manusia  tergantung kepada ideologi penguasanya." Betapa banyak tindakan tirani seorang  penguasa menular kepada rakyatnya, mematikan ruh rakyat disebabkan bercokolnya  faham Fir'aunisme pada diri penguasa. (11)
 Penguasa juga, dilain faktor, yang menentukan jarak imaginasi pada  kepribadian rakyat antara dunia dan akhirat. Sebab siapa yang mengerahkan suatu  negara beraliran sekuler, atheis, kapitalis, sosialis atau gado-gado, siapa lagi  kalau bukan penguasa?